Jakarta, CNN Indonesia --
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mendapat tugas khusus dari Presiden Prabowo Subianto untuk menangani persoalan Papua.
Sejumlah masalah krusial pun kini menjadi sorotan, mulai dari konflik bersenjata, pelanggaran HAM, eksploitasi alam dan hutan, pendidikan, kesehatan, hingga korupsi.
Kepala Sekretariat Komnas HAM Papua, Frits Ramandey menilai Gibran perlu mengevaluasi kinerja Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) sebelum menjalankan tugasnya.
"Ini kan tugas lanjutan sebenarnya. Karena itu, terpenting sekarang Pak Wapres harus mengevaluasi tim BP3OKP yang sudah ada sekarang. Capaiannya seperti apa," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/7).
Ia juga menyarankan pembentukan tim baru yang diisi oleh pakar multidisiplin. Mulai dari isu sosial, kesehatan, pendidikan hingga agama. Frits menekankan agar tim tersebut tidak dibentuk atas dasar kepentingan politik, bukan pencitraan semata.
"Orang-orang yang memiliki kepakaran, keahlian, dan pengalaman. Harus tim yang solid yang terseleksi dengan berbagai pengalaman, sehingga dia tidak hanya menjadi simbol politik yang tidak berdampak gitu," tegasnya.
Menurut Frits, penyelesaian konflik bersenjata merupakan kebutuhan paling mendesak masyarakat Papua. Ia menyebut percepatan pembangunan tidak akan efektif selama konflik bersenjata masih berlangsung.
"Percepatan secepat apapun, tetapi sepanjang konflik itu masih ada dia akan menghambat laju pembangunan, dari aspek ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan. Itu (konflik) dulu yang harus diselesaikan," jelasnya.
Konflik senjata
Komnas HAM mencatat konflik bersenjata meningkat dalam lima tahun terakhir. Tenaga kesehatan dan pendidik yang bertugas di daerah rawan bahkan turut menjadi korban.
Baru-baru ini, operasi militer di Kampung Jaindapa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, diduga menewaskan seorang perempuan bernama Hetina Mirip. Jenazah korban ditemukan sembilan hari pasca-operasi militer, Jumat (23/5).
"Ketika melakukan pencarian menemukan bahwa ibu itu setelah tertembak lalu dikubur dengan cara yang tidak manusiawi. Sehingga sebagian tubuhnya itu tidak bisa terkubur," ujar Frits kepada wartawan, Senin (26/5).
Namun, Mabes TNI membantah tuduhan tersebut. Mereka menegaskan bahwa 18 korban dalam kontak tembak itu adalah anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Komnas HAM mencatat 1.182 kasus kekerasan di Papua sepanjang 2020-2021 dilakukan oleh TNI/Polri maupun OPM/KKB. Sebanyak 41,31 persen atau 480 kasus di antaranya melibatkan anggota Polri.
Bentuk kekerasan yang terjadi antara lain penembakan, penganiayaan dengan senjata tajam, pembakaran, hingga perusakan bangunan. Total korban mencapai 47 orang, dengan 24 di antaranya meninggal dunia.
Kemudian sepanjang Januari-Desember 2024, Komnas HAM mencatat 113 peristiwa pelanggaran HAM di Papua. Sebanyak 85 di antaranya terkait konflik bersenjata dan kekerasan.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengungkapkan pada 2023 ruang demokrasi di Papua masih terbatas. Penggunaan kekuatan berlebihan dalam mengatasi demonstrasi dan kriminalisasi terhadap ekspresi warga Papua masih ditemukan.
"Masih ditemukan penanganan berlebihan excessive use of force di dalam menangani demonstrasi atau unjuk rasa, dan juga penerapan makar makar untuk memidanakan ekspresi ekspresi dari warga di Papua," kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro.
Di sisi lain, pelaksanaan otonomi khusus jilid II juga menimbulkan sengketa agraria.
"Di dalam pemekaran tersebut muncul persoalan yang paling tidak untuk saat ini terkait konflik atau sengketa agraria," tambahnya.
Papua Tengah tercatat sebagai wilayah paling terdampak, dengan 22 peristiwa konflik bersenjata di Kabupaten Intan Jaya, disusul Puncak Jaya (13), Paniai (12), Yahukimo (10), Nduga (7), dan Pegunungan Bintang (7).
Sementara itu anggota Komnas HAM Prabianto Mukti Wibowo juga menyoroti konflik agraria akibat proyek strategis nasional (PSN) seperti PSN pangan di Merauke yang berpotensi mengancam hak masyarakat adat.
"Kita tahu semua bahwa pemerintah telah mencanangkan akan membangun PSN pangan di Merauke dengan menggunakan lahan kurang lebih 2 juta hektare. Nah, hal ini juga berpotensi terhadap masyarakat dari setempat akan hak atas tanah dan keberlanjutan kehidupan mereka," katanya.
"Tentunya dalam hal ini, sepanjang proses perencanaannya ini tidak, artinya dari tidak dari awal melibatkan masyarakat setempat, tidak melakukan FPIC (Free, Prior, and Informed Consent), harus ada informasi awal dan persetujuan awal dari masyarakat setempat, tentunya ini sangat berpotensi untuk terjadinya pelanggaran hak-hak masyarakat adat setempat," sambungnya.
Kekerasan bersenjata terhadap warga sipil masih terus terjadi. Kasus yang ditangani oleh Komnas HAM antara lain Kontak senjata di Intan Jaya, Pemerkosaan terhadap dua perempuan saat aksi massa di Nabire, Dugaan penyiksaan dua warga di Puncak, dan Penembakan warga sipil di Puncak Jaya dan Yahukimo oleh anggota SDC
Kasus lain juga menyorot 11 pendulang emas yang dilaporkan tewas dalam insiden berdarah pada Minggu (6/4) dan Senin (7/4) di Kabupaten Yahukimo. Kelompok bersenjata yang menamakan diri Kodap XVI Yahukimo dan Kodap III Ndugama diduga sebagai pelaku.
"Korban pembunuhan tersebut mengalami luka bacok, tembakan, serta luka akibat panah," ujar Kaops Damai Cartenz 2025, Brigjen Pol Faizal Ramdhani.
Masalah lingkungan
Tak hanya itu, isu lingkungan Papua juga kian memprihatinkan. Dinas Kehutanan (Dishut) Papua Barat mengungkap bahwa aktivitas pertambangan emas di Wariori, Distrik Masni, Kabupaten Manokwari, telah dilakukan tanpa izin resmi. Padahal, lokasi tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung.
"Kami tidak pernah memberikan persetujuan maupun izin untuk kegiatan pertambangan," kata Pelaksana Tugas Kepala Dishut Papua Barat Jimmy W Susanto, dikutip Antara, Kamis.
Jimmy menjelaskan, kegiatan tersebut melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021. Upaya monitoring dan evaluasi oleh Dishut sempat mengalami hambatan karena penolakan dari masyarakat pemilik hak ulayat.
"Tahun 2023 tim kami sudah coba ke lapangan tetapi masyarakat menolak. Itu kendala terbesarnya dan kami tegaskan pertambangan tersebut tidak mengantongi izin yang sah," ujarnya.
Pemerintah kabupaten dan masyarakat adat sendiri telah mengusulkan pengalihan status kawasan hutan lindung agar dapat diterbitkan izin pertambangan rakyat. Namun, persetujuan substansi perubahan status kawasan menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Jimmy menyebut bahwa hanya pertambangan bawah tanah seperti migas yang bisa diizinkan di kawasan hutan lindung, karena dinilai minim merusak ekosistem.