Asa Warga Pondok Gede Permai Bekasi Hidup di Tengah Ancaman Banjir

4 hours ago 2
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Puasa Ramadan 2025 tak lagi sama bagi warga korban banjir perumahan Pondok Gede Permai, Bekasi, Jawa Barat. Hangatnya tak lagi dirasakan lewat sepiker masjid atau sudut-sudut pasar menjelang Magrib.

Pusat ekonomi warga yang biasanya hidup di sepanjang jalan utama kompleks tersebut masih nyaris lumpuh. Ruko, warung, toko baju, mini market, salon, hanya dipenuhi sampah bermandi lumpur.

Bagi sebagian warga, membersihkan sisa-sisa lumpur di toko dan warung boleh jadi akan menjadi sisa pekerjaan mereka hingga Lebaran nanti. Meski bagi sebagian yang lain lebih memilih pasrah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menyusuri jalan-jalan kompleks, kondisinya bisa lebih parah. Meski banyak warga yang sudah tinggal di rumah mereka, tak sedikit pula rumah-rumah itu kosong dan ditinggal penghuninya.

Mereka membiarkan perabotan rumah tangga yang dilumuri lumpur kering menumpuk di teras dan halaman. Sekilas, barang-barang itu tak ada bedanya dengan tumpukan sampah karena sama-sama berwarna coklat.

Tak sampai lima menit dari Pondok Gede Permai, kondisinya nyaris serupa di kompleks Vila Nusa Indah. Terpisah sungai, dua kompleks itu menjadi wilayah perbatasan antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor.

Namun, keduanya punya nasib yang sama saban memasuki musim hujan; banjir.

Sisa asa Ramadan

Sudah lebih dari tiga jam Didi tak beranjak dari kursi plastik kecilnya. Dia ditemani satu teman membersihkan sisa-sisa barang dagangan yang selamat dari banjir hebat sepekan sebelumnya, Selasa (4/3).

Sementara, satu rekannya lagi, tengah mengecat langit-langit plafon. Banjir telah mengubah warna cat warung Madura itu menjadi coklat. Karena tak bisa dibersihkan, maka tak ada pilihan lain kecuali mengecat ulang.

Barang-barang dagangan yang dibersihkan Didi umumnya makanan atau minuman dalam kemasan, seperti mie instan, kopi dan susu sachet, hingga minuman kemasan. Sisanya, barang dagangan hilang dibawa banjir. Didi mengaku tak ingat rincian barang yang lenyap termasuk jumlah kerugiannya.

"Ini sudah lima hari bersih-bersih," kata Didi.

Warung kelontong Didi hanya satu dari sejumlah usaha kecil di kompleks Perumahan Pondok Gede Permai yang masih lumpuh akibat banjir. Hingga sepekan setelahnya, warga masih sibuk membersihkan sisa-sisa lumpur di warung, ruko, dan rumah mereka.

Kini, lumpur menjadi masalah serius meski banjir telah sepenuhnya surut. Lumpur yang dibawa banjir itu memenuhi hampir semua kawasan kompleks, termasuk di jalan-jalan, sekolah, tempat ibadah, dan rumah warga.

Masalahnya, sisa-sisa lumpur itu tak sepenuhnya mudah dibersihkan. Selain karena air yang terbatas, tak semua aliran listrik saat ini sudah kembali pulih. Akibatnya, tak jarang warga harus membeli air tangki untuk kebutuhan pribadi. Sebab, mobil damkar hanya melakukan pembersihan di fasilitas publik.

Di depan warung kelontong Didi, sebuah toko busana terpaksa harus membagi-bagikan barang dagangannya yang terendam banjir. Konon, meski bisa dicuci, baju-baju tersebut sudah tak layak dijual.

"Barang enggak ada yang selamat kena air semua. Enggak bisa diselamatin," kata pemilik toko pakaian, Ahmad Nasir, Rabu (12/3).

Nasir mengaku tak bisa menghitung persis jumlah barang dagangannya yang lenyap akibat banjir. Namun, dia memperkirakan angka kerugian mencapai Rp200-300 juta.

"Kalau kerugian dananya kira-kira Rp200-300 juta. Kalau hitung piece-nya, udah enggak kehitung," kata dia.

Meski begitu, Nasir mengaku tak kapok, walau banjir bukan kali pertama merenggut usahanya. Sebelumnya, kasus yang sama juga pernah terjadi pada 2020.

Menjelang Lebaran ini, Nasir memutuskan akan kembali membuka toko bajunya. Setelah isi toko dibersihkan dari sisa lumpur, dia akan segera kulakan pakaian untuk kembali dijual.

"Rencananya Jumat kalau masih bisa. Kalau enggak bisa hari Minggu," kata Nasir.

Ramadan kini tak lagi sama bagi warga perumahan Pondok Gede Permai. Hangatnya tak lagi dirasakan lewat sepiker masjid atau sudut-sudut pasar menjelang Maghrib.Rumah warga Pondok Gede Permai yang hancur karena banjir. Foto: CNN Indonesia/ Thohirin

Banjir 5 tahunan

Sutiah (47) hanya termangu di tenda posko pengungsian BNPB sehari usah banjir menenggelamkan hampir semua rumahnya, Selasa (4/3). Tatapan matanya kosong, meski mayoritas warga tengah antre bantuan sembako.

Sutiah mengaku banjir telah merampas semua barang miliknya di rumah, bahkan tidak menyisakan barang sehelai baju sekalipun; televisi, kulkas, kipas, bahkan kendaraan motor miliknya.

"Ya pada tenggelam semua. Elektronik ya pada ini, kipas angin, tv, semuanya. Enggak ada yang selamat," kata Sutiah.

Dalam lima tahun terakhir, banjir kini bak kutukan bagi warga perumahan Pondok Gede Permai dan Vila Nusa Indah. Banjir menjadi ancaman dan terus membayangi mereka saban musim hujan.

Peristiwa serupa pernah terjadi di dua tempat itu pada awal 2020 dan 2016. Pada 2020, banjir bahkan menewaskan sembilan orang. Banjir menghanyutkan barang-barang milik warga. Mobil, motor, perabotan, perkakas elektronik bertumpuk di jalan utama kompleks tanpa tahu pemiliknya.

Sementara, Pemkot Bekasi mencatat akibat banjir terakhir, sebanyak 22.856 ribu KK terdampak di delapan kecamatan dan lebih dari 26 kelurahan. Kecamatan Jatiasih menjadi wilayah dengan kondisi terparah. Total ada tujuh perumahan yang terdampak dengan luas mencapai 145,7 Hektar.

Lantas, apa akar persoalan kondisi tersebut?

Secara umum, banjir di Bekasi, khususnya di perumahan Pondok Gede Permai dan Vila Nusa Indah faktanya disebabkan karena kerusakan lingkungan. Perubahan tata ruang yang tidak memperhatikan lingkungan dinilai memperburuk intensitas banjir.

Data Greenpeace mencatat, DAS Kali Bekasi kini hanya tersisa sekitar 1.700 hektare atau hanya 2 persen dari total DAS sekitar 147 ribu hektare. Padahal, idealnya, wilayah hutan minimal 30 persen dari luas DAS sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Data lain mengungkap, pada 2022 penggunaan lahan DAS Kali Bekasi mayoritas telah beralih fungsi menjadi permukiman dengan total mencapai 61.297,3 hektare. Jumlah ini mencapai 42 persen dari total DAS Kali Bekasi seluas 145.952,7 hektare.

Angkanya meningkat drastis jika dibandingkan dengan data pada 1990 silam. Saat itu, penggunaan lahan DAS untuk permukiman hanya sekitar 7.455,5 hektare (5,1 persen) dari total DAS seluas 145.805,2 hektare.

Dengan kondisi itu, pemerintah dinilai belum serius mengatasi persoalan banjir secara komprehensif. Warga menyesalkan selama ini pemerintah hanya muncul dan nampak serius saat banjir terus berulang.

Namun, bersamaan dengan surutnya air, surut pula keseriusan pemerintah melakukan penanganan serius.

"Janji-janji mulu. Ngumpulin KK, foto-foto, diem. Ngumpulin lagi. Hanya sekadar seremonial aja lah. Hanya jadi azas kemanfaatan aja kita," kata warga yang enggan disebutkan namanya.

Kritik serupa juga disampaikan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dia mengkritik cara penanganan lewat sembako selama ini atas bencana yang dialami masyarakat.

"Kita ini punya ciri khas. Banjir dikirim sembako. Longsor dikirim sembako. Kebakaran dikirim sembako. Seluruh masalah penyelesaiannya sembako. Saya ingin penyelesaiannya komprehensif," kata Dedi.

"Yuk, kita perang, ya kita perang. Kita tarung ya kita tarung," imbuhnya.

Infografis - Memahami Asal Muasal Banjir BekasiInfografis - Memahami Asal Muasal Banjir Bekasi

(dal/thr)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Kasus | | | |