Aceh, CNN Indonesia --
Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memindahkan secara adminstratif 4 pulau dari Aceh ke wilayah Sumatera Utara mendapat kritikan keras dari berbagai kalangan di Tanah Rencong.
Guru Besar Universitas Syiah Kuala Humam Hamid menyebutkan seharusnya pemerintah pusat belajar dari Catalonia dan Mindanao agar tidak berujung terjadinya konflik baru.
Humam mencontohkan yang terjadi di Catalonia, masyarakat di sana merasa bahwa otonomi yang dijanjikan terus dibatasi, dan keputusan strategis diambil tanpa menghormati aspirasi lokal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Situasi ini memperkuat identitas kolektif dan mendorong resistensi yang kini berlangsung dalam bentuk politik.
"Fenomena seperti ini tidak unik terjadi di Aceh. Di Catalonia, misalnya, tuntutan pemisahan dari Spanyol tidak semata karena alasan ekonomi, tetapi karena sejarah marginalisasi dan aspirasi kultural yang diabaikan oleh pusat," kata Humam Hamid dalam keterangannya, Rabu (11/6).
Aceh, kata dia, memiliki banyak kesamaan dengan kawasan itu secara identitas historis yang kuat, pengalaman relasi timpang dengan pusat, dan kesadaran kolektif untuk mempertahankan harga diri wilayah.
Dalam konteks ini pendekatan legalistik terhadap pengalihan wilayah hanya akan memperdalam kecurigaan.
"Bila tidak ditangani secara sensitif, keputusan administratif bisa menjadi percikan bagi munculnya kembali narasi resistensi yang lebih luas," ujarnya.
Apalagi keputusan pemerintah pusat dinilai dilakukan secara sepihak terkait empat pulau tersebut tanpa proses dialog yang terbuka sehingga menimbulkan rasa bagi Aceh diperlakukan secara tidak adil.
"Di mata masyarakat Aceh, ini bukan sekadar pengalihan wilayah, melainkan pengabaian atas martabat dan komitmen politik pascadamai," kata Sosiolog USK tersebut.
Sebelumnya, Kemendagri memutuskan empat pulau yang berada di perbatasan Aceh-Sumatera Utara masuk dalam status administrasi wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Empat pulau itu adalah Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Pulau Mangkir Ketek.
Status administratif itu tertuang dalam Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Empat pulau itu awalnya dimiliki oleh warga Aceh dengan dokumen sah serta ditandai dengan adanya prasasti yang dibangun oleh Pemkab Aceh Singkil pada 2008.
Bukti lainnya termasuk dokumen administrasi kepemilikan dermaga, surat kepemilikan tanah tahun 1965, serta dokumen pendukung lainnya.
Di Pulau Mangkir Ketek juga ditemukan sebuah prasasti bertuliskan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh.
Prasasti ini dibangun pada Agustus 2018, mendampingi tugu sebelumnya yang dibangun oleh Pemkab Aceh Singkil pada tahun 2008 dengan tulisan 'Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam'.
(dra/isn)