WALHI Resmi Gugat 13 Pasal UU Cipta Kerja ke MK

15 hours ago 7

Jakarta, CNN Indonesia --

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) secara resmi memasukkan permohonan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, khususnya klaster lingkungan hidup ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan tersebut disampaikan pada Kamis, 5 Juni 2025, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. WALHI memberi kuasa kepada Tim Advokasi untuk Keadilan Ekologis.

"Permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk perlawanan terhadap pelemahan perlindungan lingkungan hidup yang dilegalkan melalui regulasi tersebut," ujar WALHI dalam keterangan pers, Kamis (5/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

WALHI mempermasalahkan 13 Pasal yang dianggap bermasalah karena bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional dan nilai-nilai keadilan ekologis. Di antaranya Pasal 13 huruf B serta berbagai ketentuan dalam Pasal 22, mulai dari angka 1 hingga 28.

Pasal-pasal tersebut dinilai telah mengaburkan jaminan perlindungan lingkungan yang seharusnya menjadi bagian integral dari pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi mengatakan pemberlakuan UU Cipta Kerja telah menyebabkan keresahan dan kerugian nyata baik bagi masyarakat maupun lingkungan hidup.

Menurut dia, keberadaan Undang-undang tersebut telah secara nyata mencederai semangat keadilan ekologis lantaran membuka ruang bagi eksploitasi lingkungan tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.

"Berlakunya UU ini meruntuhkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang semestinya ditopang oleh upaya perlindungan lingkungan yang demokratis," kata Zenzi.

Dia memandang sejumlah Pasal dalam Undang-undang Cipta Kerja secara eksplisit membatasi hak-hak prosedural masyarakat, khususnya dalam hal partisipasi publik, akses terhadap informasi, dan kontrol terhadap kebijakan yang berdampak pada lingkungan.

Salah satu masalah pokok yang dikritik adalah pembatasan partisipasi publik dalam proses AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Undang-undang Cipta Kerja, kata Zenzi, membatasi partisipasi hanya kepada 'masyarakat terdampak langsung', yang mengesampingkan hak masyarakat luas dan organisasi lingkungan untuk turut serta dalam proses penyusunan dokumen AMDAL.

"Padahal, hak untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat dan layak bagi kehidupan merupakan hak kolektif yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945," imbuhnya.

Perubahan kelembagaan dari Komisi Penilai AMDAL menjadi Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup juga menjadi sorotan. Perubahan itu dianggap menghilangkan ruang pelibatan unsur masyarakat dan organisasi lingkungan dalam proses pengambilan keputusan, yang selama ini merupakan kanal partisipatif dalam tata kelola lingkungan.

Selain itu, lanjut Zenzi, WALHI juga menyoroti ketentuan yang melemahkan fungsi pengawasan negara terhadap kegiatan usaha. Satu di antaranya mengenai ketentuan dalam Pasal 22 angka 18 yang menyatakan pencabutan izin lingkungan tidak serta merta membatalkan izin usaha atau kegiatan.

Hal itu, terang Zenzi, jelas bertentangan dengan semangat pengawasan preventif dalam perlindungan lingkungan hidup, serta menghapus korelasi logis antara keberadaan izin lingkungan dan izin usaha.

Dia menambahkan masalah akses informasi juga tidak luput dari perhatian. Ketentuan yang mengandalkan sistem informasi berbasis digital dinilai bias terhadap wilayah perkotaan dan mengabaikan masyarakat di pedesaan atau terpencil yang belum memiliki infrastruktur internet memadai.

Kata Zenzi, hal itu berpotensi menghambat hak warga negara untuk mengetahui dan mengawasi kebijakan di bidang lingkungan serta membatasi partisipasi dalam pemerintahan yang demokratis.

Kuasa hukum WALHI yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Keadilan Ekologis menyampaikan permohonan tersebut didasarkan pada sejumlah Pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji terhadap konstitusionalitas Undang-undang Cipta Kerja.

Mulya Sarmono dari tim kuasa hukum menjelaskan Pasal-pasal yang digunakan sebagai dasar antara lain adalah Pasal 1 ayat (3) tentang negara hukum, Pasal 28H ayat (1) tentang hak atas lingkungan hidup, Pasal 28C ayat (1) dan (2) tentang hak mengembangkan diri dan perjuangan hak kolektif, serta Pasal 28F yang menjamin hak atas informasi.

"Pasal-pasal ini menjadi dasar konstitusional untuk menguji keabsahan Pasal-pasal yang kami anggap bermasalah dalam UU Cipta Kerja. Dalam kajian kami, Pasal-pasal tersebut jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dijamin dalam UUD 1945," tutur Mulya.

Sementara itu, Alif Fauzi Nurwidiastomo dari LBH Jakarta, yang turut mendampingi dalam proses pendaftaran perkara, menyampaikan proses berjalan lancar meskipun diwarnai dengan tindakan pembatasan kebebasan berekspresi oleh aparat terhadap massa solidaritas di sekitar Gedung MK.

"Setelah ini kami tinggal menunggu Akta Registrasi Perkara Konstitusi (ARPK), artinya permohonan telah resmi tercatat oleh Mahkamah Konstitusi. Kami siap menghadapi tahapan persidangan selanjutnya," kata Alif.

WALHI berharap hakim konstitusi dapat memutus perkara tersebut dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan keberpihakan terhadap kelestarian lingkungan hidup.

"Masa depan keadilan ekologis ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Kami berharap putusan yang akan diambil nantinya berpijak pada prinsip in dubio pro natura-dalam situasi ragu, berpihaklah kepada alam," ucap Zenzi.

(ryn/dal)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Kasus | | | |