Tak Pernah Dipimpin Ratu, Ini Sejarah Para Raja Keraton Yogyakarta

10 hours ago 5

Jakarta, CNN Indonesia --

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X menyinggung soal peluang perempuandalam regenerasi Keraton Yogyakarta di masa depan.

Menurutnya, perubahan zaman dan nilai-nilai demokrasi membuat regenerasi di lingkungan Keraton tak semestinya dibatasi oleh jenis kelamin.

Hal itu disampaikan Sultandalam Forum Sambung Rasa Kebangsaan di Gedung Sasono Hinggil Dwi Abad, Keraton Yogyakarta, Minggu (26/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Republik tidak membedakan laki-laki sama perempuan, kenapa saya membedakan? Kan saya tidak konsisten. Zaman sudah berubah, itu (tradisi patriarkis) kan leluhur saya. Lho, saya kan menjadi bagian dari republik, ya harus tunduk pada undang-undang republik," ujarnya.

Pernyataan ini kemudian memantik spekulasi soal kemungkinan Keraton Yogyakarta dipimpin seorang perempuan. Sebab sejak berdiri pada 1755, tak satu pun raja yang bertakhta berasal dari garis keturunan perempuan.

Berikut daftar raja-raja Keraton Yogyakarta

Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792)

Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi, lahir pada 5 Agustus 1717. Sejak muda ia dikenal cakap dalam olah keprajuritan dan taat beribadah. Ketika Mataram diguncang konflik dan pengaruh VOC, Mangkubumi memimpin perlawanan besar bersama Pangeran Sambernyawa.

Perjuangan panjangnya berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membagi Kerajaan Mataram. Dari perjanjian itu lahirlah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Mangkubumi dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono I.

Sebagai raja pertama, ia membangun Keraton Yogyakarta dengan tata ruang sarat makna spiritual dan filosofis, serta kompleks Taman Sari yang megah. Ia juga menanamkan nilai-nilai seperti Hamemayu Hayuning Bawono dan Manunggaling Kawula Gusti yang menjadi dasar karakter masyarakat Yogyakarta.

Hamengku Buwono I wafat pada 24 Maret 1792 dan pada 2006 ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional atas jasanya membangun Yogyakarta dari fondasi budaya, arsitektur, dan kearifan lokal.

Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1828)

Sri Sultan Hamengku Buwono II bernama asli Raden mas Sundoro. Dia dikenal sebagai raja yang keras dan anti terhadap kekuasaan kolonial.

Pria yang lahir 7 Maret 1750 ini naik takhta pada 1792 menggantikan ayahnya. Selama masa kepemimpinannya Hamengku Buwono II memperkuat pertahanan Keraton dan menolak campur tangan Belanda dalam urusan politik Yogyakarta.

Ketegasannya membuat hubungan dengan VOC dan Gubernur Jenderal Daendels memburuk. Ia sempat dipaksa turun tahta pada 1810, lalu kembali berkuasa ketika Inggris datang pada 1811. Namun pada 1812, pasukan Inggris di bawah Raffles menyerbu Keraton dan mengasingkannya ke Pulau Pinang dan Ambon.

RM Sundoro sempat kembali naik takhta untuk ketiga kalinya pada 1826, di masa Perang Diponegoro, sebelum wafat dua tahun kemudian.

Selain dikenal karena keberaniannya menentang penjajahan, ia juga meninggalkan warisan budaya seperti Babad Nitik Ngayogya dan Wayang Orang Jayapusaka yang menegaskan semangat perlawanan dan martabat Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengku Buwono III (1810-1814)

Sri Sultan Hamengku Buwono III lahir 20 Februari 1769 dengan nama Raden Mas Surojo. Ia adalah putra Sultan Hamengku Buwono II yang dikenal pendiam dan lebih suka mengalah.

Naik takhta pertama kali pada 1810 setelah ayahnya dilengserkan oleh Daendels, namun tak lama kemudian Inggris merebut Jawa dan mengembalikan Hamengku Buwono II ke takhta.

Pada 1812, setelah Hamengku Buwono II kembali dilengserkan oleh Raffles, RM Surojo kembali dinobatkan menjadi Sultan.

Masa pemerintahannya diwarnai perubahan besar: Inggris memaksa Yogyakarta menyerahkan wilayah seperti Kedu dan Grobogan, serta membentuk kadipaten otonom Paku Alaman di bawah Pangeran Notokusumo. Ia juga mengangkat Tan Jin Sing, seorang keturunan Tionghoa, menjadi Bupati bergelar KRT Secadiningrat.

Sultan HB III wafat pada 3 November 1814 dan dimakamkan di Imogiri. Meski pemerintahannya singkat, ia dikenal sebagai raja yang membawa masa tenang setelah konflik politik berkepanjangan.

Sri Sultan Hamengku Buwono IV (1814-1822)

Sri Sultan Hamengku Buwono IV, lahir pada 3 April 1804 dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot, naik tahta pada usia 10 tahun menggantikan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III. Karena masih belia, pemerintahan dijalankan oleh wali raja, termasuk Paku Alam I dan ibundanya, Ratu Ibu, bersama Patih Danurejo IV.

Di masa mudanya, GRM Ibnu Jarot mendapat perhatian besar dari kakaknya, Pangeran Diponegoro, yang mengajarinya ilmu agama dan budi pekerti. Namun hubungan keduanya memburuk ketika Danurejo IV memperluas pengaruhnya dan menerapkan sistem sewa tanah yang menindas rakyat, serta memberi keuntungan bagi pihak swasta dan pejabat keraton. Kebijakan itu menjadi awal ketegangan sosial yang kelak melatarbelakangi Perang Jawa.

GRM Ibnu Jarot wafat muda pada 6 Desember 1823 dalam usia 19 tahun, dan dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar. Ia dimakamkan di Imogiri. Meski masa pemerintahannya singkat dan banyak dikendalikan oleh wali, peninggalannya antara lain dua kereta pesiar, Kyai Manik Retno dan Kyai Jolodoro, yang kini disimpan di Museum Kereta Keraton Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855)

Sri Sultan Hamengku Buwono V, naik tahta saat berusia tiga tahun setelah ayahnya wafat. Karena masih kecil, ia dibimbing oleh dewan wali yang terdiri dari Ratu Ageng (nenek Sultan), Ratu Kencono (ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Diponegoro.

Untuk urusan pemerintahan sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danurejo III di bawah pengawasan Belanda.

Masa pemerintahannya bertepatan dengan Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Konflik besar itu dipicu ketidakadilan ekonomi, pajak tinggi, serta masuknya pengaruh dan budaya Eropa di wilayah keraton.

Setelah perang berakhir dan Diponegoro ditangkap, Sultan HB V memilih strategi damai dengan mempererat hubungan antara Keraton dan pemerintah kolonial untuk menjaga stabilitas Yogyakarta.

Dalam masa damai, Sultan yang lahir pada 20 Januari 1821 ini menaruh perhatian besar pada pengembangan seni, sastra, dan tari. Ia menggagas karya penting seperti Serat Makutha Raja, pedoman moral bagi para pemimpin yang menekankan keadilan dan kebijaksanaan.

Ia juga menciptakan karya seni seperti Suluk Sujinah dan Serat Syeh Hidayatullah, serta memperkenalkan inovasi musik Gendhing Gati yang memadukan alat musik Barat dan Jawa.

Sultan HB V wafat pada 5 Juni 1855 dan dimakamkan di Imogiri.


Read Entire Article
Kasus | | | |