Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP) terkait pelaksanaan atau proses kegiatan operasi produksi bijih nikel dan sarana penunjangnya pada kawasan hutan produksi terbatas dan kawasan hutan produksi di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara.
"Amar putusan: Tolak PK," demikian dilansir dari laman Kepaniteraan MA, Rabu (5/11).
Perkara nomor: 83 PK/TUN/TF/2025 diperiksa dan diadili oleh ketua majelis Suharto dengan hakim anggota Cerah Bangun dan Lucas Prakoso. Panitera Pengganti Fandy Kurniawan Pattiradja. Putusan dibacakan pada Kamis, 9 Oktober 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemohon PK itu adalah PT GKP, sedangkan termohon adalah Menteri Lingkungan Hidup dan warga Wawonii Selatan atas nama Pani Arpandi.
Objek sengketa TUN yaitu Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.576/Menhut-II/2014 tanggal 18 Juni 2014 di wilayah administrasi Kabupaten Konawe dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT GKP yang diterbitkan oleh Bupati Konawe melalui Surat Keputusan Nomor 82 Tahun 2010 yang terletak di Kecamatan Wawonii Selatan, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, seluas 950 ha.
Adapun SK 576 tersebut perihal kegiatan operasi produksi bijih nikel dan sarana penunjangnya pada kawasan hutan produksi terbatas dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi atas nama PT GKP yang terletak di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, seluas 707,10 ha.
"Status: Perkara telah diputus, sedang dalam proses minutasi oleh majelis," masih dikutip dari laman Kepaniteraan MA.
Majelis hakim PK menguatkan putusan kasasi nomor perkara: 403 K/TUN/TF/2024 yang dijatuhkan pada Senin, 7 Oktober 2024. Susunan majelis hakim kasasi yang mengadili perkara terdiri dari Yulius selaku ketua majelis dengan Lulik Tri Cahyaningrum dan Yosran sebagai hakim anggota.
Majelis hakim kasasi saat itu berpendapat alasan permohonan kasasi dapat dibenarkan karena judex facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dalam putusannya memuat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam penerapan hukum.
Hakim mengatakan Pulau Wawonii secara administrasi keseluruhan wilayahnya masuk ke dalam wilayah Kabupaten Konawe, di mana secara geografis Pulau Wawonii memiliki luas 706 km2 dan tergolong sebagai pulau kecil yang pengelolaannya beserta kesatuan ekosistem di dalamnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Hal itu sebagaimana diatur Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil juncto Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Terluar, menyebutkan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km beserta kesatuan ekosistemnya.
Hakim menjelaskan Pasal 35 huruf k dan huruf i UU 1/2014 menyebutkan dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:
a. Melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;
b. Melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Hakim mengungkapkan penambangan oleh PT GKP telah mengakibatkan pencemaran sungai yang sebelumnya menjadi sumber air bagi masyarakat Wawonii, menimbulkan rasa ketakutan bagi masyarakat akan tempat tinggal, tanah garapan dan kampung halaman masyarakat akan menjadi lubang-Iubang tambang. PT GKP disebut juga telah beberapa kali melakukan penyerobotan lahan milik masyarakat.
Berdasarkan UU 1/2014 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 dikatakan bahwa untuk menjaga ekosistem dan kesatuan ekologis, maka pemanfaatan pulau-pulau kecil in casu Pulau Wawonii hanya ditujukan untuk kegiatan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan, industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan/atau peternakan.
Lebih lanjut, hakim menuturkan berdasarkan fakta di persidangan, analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) pada kegiatan penambangan nikel oleh PT GKP di Kepulauan Wawonii tidak melibatkan aspirasi masyarakat sekitar yang terdampak.
Selain itu juga tidak dilengkapi izin atau rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai kegiatan penambangan di wilayah kategori kepulauan kecil sehingga keputusan objek sengketa a quo bertentangan dengan Pasal 10 ayat (2) huruf d dan huruf e UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Pasal 26A angka 1 UU 1/2014.
"Bahwa objek sengketa a quo diterbitkan di Pulau Wawonii termasuk wilayah administrasi Kepulauan Konawe yang dikategorikan sebagai pulau kecil yang prioritas pemanfaatannya tidak satu pun menempatkan pengelolaan usaha pertambangan baik langsung maupun tidak langsung, maka penerbitan objek sengketa a quo yang memberikan izin melakukan aktivitas pertambangan nikel di Pulau Wawonii merupakan perbuatan yang bertentangan dengan UU 1/2014 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Terluar, serta UU 32/2009 dan bertentangan dengan asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU 32/2009," kata hakim kasasi dalam putusan perkara nomor: 403 K/TUN/TF/2024.
"Bahwa dengan demikian objek sengketa a quo haruslah dibatalkan dan diperintahkan kepada tergugat untuk mencabutnya. Oleh karena itu, permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi [Pani Arpandi] beralasan hukum untuk dikabulkan," sambung hakim.
(fra/ryn/fra)

3 hours ago
5
















































