Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mendukung kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirim siswa nakal ke barak untuk dilakukan pembinaan. Pigai menilai kebijakan tersebut tidak melanggar HAM.
"Kebijakan Gubernur Jawa Barat yang mau mendidik anak-anak nakal di barak tentara dalam perspektif HAM saya tegaskan tidak melanggar HAM karena kalau itu tidak dilakukan yang disebut corporal punishment," ujar Pigai di Kantornya, Jakarta, Selasa (6/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pigai menjelaskan corporal punishment adalah sebuah hukuman fisik yang selama ini sudah berlangsung di mana pendidik menghukum siswa bertentangan dengan prinsip, seperti mencubit dan memukul.
"Di Jawa Barat itu bukan corporal punishment tapi mereka mau dididik mental, karakter, disiplin, dan tanggung jawab. Kalau pendidikan yang berorientasi pada pembentukan disiplin, pembentukan mental, pembentukan karakter, dan pembentukan tanggung jawab, maka tidak melanggar HAM dan kami mendukung pemerintah Jawa Barat itu," ungkap mantan Komisioner Komnas HAM ini.
Pigai menambahkan apabila implementasi di Jawa Barat berhasil, dia akan meminta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah untuk membuat peraturan supaya bisa berlangsung masif di banyak tempat.
"Kalau bagus, tetapi kita semua mendorong supaya mereka yang akan dididik, sistem pendidikannya terkontrol supaya tidak menabrak nila-nilai HAM, tidak bertentangan dengan HAM," ungkap Pigai.
"Karena ini idenya bagus untuk ke depan. Kita kan 10 tahun ke depan itu 2025-2035 itu kita harus go internasional, targetnya negara ya. Tahun ini untuk dalam rangka 10 tahun ini, kita mempersiapkan transformasi, termasuk juga menyiapkan SDM," ujarnya.
Beda pendapat
Kebijakan Dedi Mulyadi tersebut menuai pro dan kontra.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menilai mengirim siswa nakal ke barak TNI tidak tepat. Komnas HAM menilai TNI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan civic education atau pendidikan kewarganegaraan terhadap siswa.
"Sebetulnya itu bukan kewenangan TNI untuk melakukan edukasi-edukasi civic education. Mungkin perlu ditinjau kembali, rencana itu maksudnya apa," tutur Atnike saat ditemui wartawan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (2/5).
"Itu proses di luar hukum kalau tidak berdasarkan hukum pidana bagi anak di bawah umur," ujarnya menambahkan.
Sementara Anggota Komisi X DPR Bonnie Triyana menilai tak semua masalah bisa diselesaikan dengan cara-cara militeristik.
Menurut dia, rencana itu perlu dikaji lebih matang sebelum diimplementasikan.
"Tidak semua problem harus diselesaikan oleh tentara, termasuk persoalan siswa bermasalah," kata Bonnie dalam keterangannya, Rabu (30/4).
Sementara itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada isu Hak Asasi Manusia (HAM), Imparsial, berpendapat pelibatan TNI dalam membina siswa "nakal" merupakan keputusan tidak tepat di tengah kritik tajam terhadap institusi TNI akibat perilaku kekerasan prajurit di ranah sipil.
Berdasarkan catatan Imparsial, terdapat sejumlah kasus kekerasan anggota TNI kepada masyarakat sipil.
Mulai dari kasus penyerangan kampung dan pembunuhan seorang warga sipil pada November 2024 di Deli Serdang, kasus pembunuhan bos rental pada Januari 2025 di Tangerang, kasus Sabung Ayam yang mengakibatkan terbunuhnya 3 anggota Polisi pada bulan Maret 2025 di Lampung, dan kasus pembunuhan jurnalis perempuan oleh anggota TNI pada bulan Maret 2025 di Banjarbaru.
"Mengakarnya kultur kekerasan di tubuh TNI jelas-jelas menunjukkan bahwa kebijakan yang akan diambil oleh Dedi Mulyadi tidak hanya keliru tetapi juga berbahaya," kata Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra melalui keterangan tertulis, Rabu (30/4).
(fra/ryn/fra)