Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyesalkan vonis ringan terhadap anggota TNI yang menganiaya pelajar hingga tewas di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Arifah menilai seharusnya pengadilan militer memberikan hukuman yang setimpal bagi Sertu Riza Pahlivi agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap anak.
"Setiap bentuk kekerasan terhadap anak adalah tindak pidana yang tidak dapat ditoleransi dan harus diproses secara transparan, adil, dan memberikan efek jera yang setimpal," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (27/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia lantas menyoroti pemberian vonis oleh Majelis Hakim di pengadilan militer yang jauh lebih ringan dari ancaman hukuman dalam UU Perlindungan Anak. Karenanya, Arifah menilai seharusnya kasus penganiayaan terhadap korban MHS ini diproses di pengadilan umum.
"Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelanggaran hukum pidana umum semestinya diproses di peradilan umum, bukan peradilan militer," jelasnya.
"Kami mendorong agar seluruh aparat penegak hukum, baik di peradilan umum maupun militer, menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap proses dan putusan," imbuhnya.
Lebih lanjut, Arifah lantas mendorong Oditur Militer untuk mengajukan upaya banding terhadap putusan itu. Selain itu ia juga meminta Mahkamah Agung (MA) agar dapat turun tangan mengawasi proses pemberian putusan tersebut.
Ia memandang hal itu penting agar putusan yang dijatuhi dapat memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Selain itu, Arifah juga pengadilan militer memastikan setiap bentuk kekerasan terhadap anak ditangani secara transparan, profesional, dan berperspektif korban.
"Tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Negara wajib hadir memastikan keadilan dan perlindungan terbaik bagi setiap anak Indonesia," tegasnya.
Kasus ini bermula pada 24 Mei 2024, ketika MHS dan temannya berada di lokasi tawuran di Jalan Pelican, Deli Serdang.
Dalam upaya pembubaran tawuran, MHS diduga ditangkap dan dianiaya oleh oknum Bintara Pembina Desa (Babinsa) hingga mengalami luka berat dan meninggal dunia, meskipun korban tidak terlibat dalam tawuran tersebut. Ibu korban kemudian melapor ke Detasemen Polisi Militer I/5 dengan nomor laporan TBLP-58/V/2024.
Setelah lebih dari satu tahun proses hukum berjalan, pengadilan militer menjatuhkan vonis pada 20 Oktober 2025 dengan hukuman pidana penjara selama 10 bulan dan pembayaran restitusi sebesar Rp12.777.100.
Hukuman pidana ini lebih ringan dari ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 76C jo Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yaitu 15 tahun penjara.
(tfq/dal)

5 hours ago
2

















































