Mengenal 4 Pulau Sengketa Sumut: Tak Berpenghuni, Ada Tugu Milik Aceh

17 hours ago 8

Jakarta, CNN Indonesia --

Polemik status kepemilikan empat pulau di perbatasan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) mencuat setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan keempatnya berada dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.

Keputusan itu mendapat penolakan dari Pemerintah Aceh yang mengklaim keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayahnya.

Empat pulau yang menjadi sengketa itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek (Mangkir Kecil), dan Pulau Mangkir Gadang (Mangkir Besar).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir laman Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh, Pemprov bersama tim Kemendagri telah terjun ke pulau sengketa tersebut untuk memverifikasi secara langsung pada tahun 2022.

Di Pulau Panjang, Pemprov Aceh memperlihatkan jejak-jejak yang membuktikan bahwa pulau tersebut milik Aceh. Terdapat Tugu Selamat Datang yang dibangun oleh Pemkab Aceh Singkil dan tugu berkoordinat yang dibangun Dinas Cipta Karya dan Bina Marga tahun 2012.

Pulau Panjang memiliki luas sekitar 47,8 hektare dan terletak 2,4 kilometer dari daratan utama Kabupaten Tapanuli Tengah.

Meski Pulau Panjang tak dihuni oleh penduduk, namun terdapat sejumlah infrastruktur seperti rumah singgah dan musholla yang dibangun Pemkab Singkil pada 2012, dan sebuah dermaga yang dibangun pada 2015.

Pemerintah Aceh menyebut keberadaan infrastruktur tersebut sebagai bukti bahwa pulau ini masuk dalam wilayah administratif Aceh Singkil.

Sementara itu, Pulau Lipan memiliki luas hanya sekitar 0,38 hektare dan terletak sejauh 1,5 kilometer dari Tapanuli Tengah. Berdasarkan surat konfirmasi Gubernur Aceh pada 2009 setelah hasil verifikasi pulau, diketahui bahwa Pulau Lipan semula bernama Pulau Malelo.

Pulau Lipan hampir tak bisa lagi dikenali sebagai pulau karena sebagian besar wilayah daratannya telah tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.

Pulau ini juga dinilai tidak lagi memenuhi kriteria sebagai pulau dalam pengertian Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS), karena tak muncul saat pasang laut tertinggi. Meski begitu, citra satelit tahun 2007 sempat menunjukkan vegetasi di lokasi tersebut.

Di sisi lain, Pulau Mangkir Kecil, atau yang semula bernama Pulau Rangit Kecil, memiliki luas 6,15 hektare dan berjarak sekitar 1,2 kilometer dari daratan Tapanuli Tengah. Meskipun tak dihuni, pulau ini memiliki tugu dan prasasti yang dibangun oleh Pemerintah Aceh sebagai bentuk klaim atas wilayah tersebut.

Tugu "Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam" dibangun pada tahun 2008, dan diperkuat dengan prasasti tambahan pada tahun 2018 yang disebutkan oleh tim verifikasi saat kunjungan.

Pulau keempat yang disengketakan adalah Pulau Mangkir Besar, dengan luas 8,16 hektare dan berada sekitar 1,9 kilometer dari daratan Tapanuli Tengah. Pulau Mangkir Besar semula bernama Pulau Rangit Besar. Sama seperti ketiga pulau lainnya, pulau ini juga tidak dihuni oleh penduduk.

Di pulau ini hanya terdapat tugu batas wilayah yang dibangun oleh Pemerintah Aceh. Tidak ditemukan infrastruktur tambahan lain maupun aktivitas warga.

Keempat pulau yang disengketakan ini diketahui berada tak jauh dari wilayah kerja migas Offshore West Aceh (OSWA), yang berada di bawah kewenangan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Meski demikian, Kepala BPMA Nasri Djalal menyebut keempat pulau itu tidak termasuk dalam cakupan wilayah kerja OSWA.

"Secara umum, keempat pulau tersebut berdekatan dengan Wilayah Kerja (WK) Offshore West Aceh (OSWA) dan tidak termasuk ke dalam WK OSWA yang merupakan WK terdekat yang berada dalam kewenangan Badan Pengelola Migas Aceh," kata Nasri Djalal kepada CNNIndonesia.com, Kamis (12/6).

Ia menambahkan, sejauh ini belum ditemukan data seismik yang memadai untuk menilai potensi migas di wilayah tersebut. Oleh karena itu, evaluasi komprehensif terhadap kandungan migas belum bisa dilakukan.

"Kami mendorong adanya survei awal dan akuisisi data seismik agar potensi Migas bisa diidentifikasi lebih jelas," ujarnya.

Hal serupa disampaikan Kepala Dinas ESDM Aceh, Taufik. Menurutnya, pihaknya sedang menelusuri kembali data lama terkait potensi migas di kawasan perairan empat pulau itu.

"Kami lagi cari data akurat, memang itu pernah menjadi wilayah kerja migas. Potensinya memang pernah ada sumur-sumur (migas) tua, tapi informasinya lagi kami gali kembali," kata Taufik.

Sebelumnya, pemerintah melalui Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 telah menetapkan bahwa keempat pulau tersebut secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

Namun, keputusan ini langsung menuai protes dari Pemerintah Aceh maupun masyarakatnya. Mereka menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut memiliki ikatan historis dan yuridis dengan Provinsi Aceh. Salah satu dokumen yang dijadikan dasar klaim adalah Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965.

Polemik terkait status kepemilikan ini kini terus berlanjut dan menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk Kemendagri, yang menyebut akan terus mengupayakan solusi melalui jalur administratif dan legal.

(kay/dal)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Kasus | | | |