Kebijakan Sekejap KPU, Mengapa Merahasiakan Dokumen Capres-Cawapres?

3 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menuai sorotan publik buntut Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 yang mengatur tentang 16 dokumen syarat pendaftaran capres-cawapres sebagai informasi yang tidak bisa dibuka publik atau rahasia tanpa persetujuan dari pihak terkait.

Dokumen itu meliputi fotokopi KTP dan akta kelahiran, surat keterangan catatan kepolisian, surat keterangan kesehatan, laporan harta kekayaan pribadi, surat keterangan tidak pailit, surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota legislatif, NPWP dan bukti laporan pajak lima tahun terakhir, daftar riwayat hidup, dan pernyataan belum pernah menjabat presiden/wakil presiden dua periode.

Lalu, pernyataan setia pada Pancasila dan UUD 1945, surat keterangan tidak pernah dipidana, bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau surat tanda tamat belajar, surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang, surat pernyataan kesediaan maju sebagai capres/cawapres, serta surat pernyataan pengunduran diri dari TNI/Polri/PNS dan dari badan usaha milik negara/daerah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KPU mendapat kritik dari berbagai elemen masyarakat hingga DPR RI. Usai menerima hujan kritik, KPU membatalkan keputusan tersebut pada Selasa (16/9). Keputusan yang diteken pada 21 Agustus lalu itu hanya bertahan selama 27 hari.

Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengakui banyak masukan hingga kritik dari publik terkait keputusan itu. Ia mengapresiasi beragam masukan dan kritik tersebut.

Afif membantah isu yang menyatakan bahwa aturan itu dibentuk untuk umum dan bukan bermaksud melindungi pihak tertentu. Ia meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi di publik buntut keputusan tersebut.

"Kami dari KPU juga mohon maaf atas situasi keriuhan yang sama sekali tidak ada pretensi sedikitpun di KPU untuk melakukan hal-hal yang dianggap menguntungkan pihak-pihak tertentu," kata Afif dalam jumpa pers di Kantor KPU RI, Jakarta, Selasa (16/9).

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Dede Sri Kartini menilai KPU sejak awal mengeluarkan keputusan ini memang ingin melindungi seseorang.

"Itu memperlihatkan bahwa keputusan KPU itu ya bukannya dasar hukum yang tidak kuat, tetapi dugaan-dugaan bahwa KPU itu adalah melindungi seseorang itu semakin kuat," ucap Dede kepada CNNIndonesia.com, Rabu (17/9).

Meskipun dugaan itu dibantah oleh Afif, namun Dede tetap menyoroti tanggal keputusan tersebut diteken pada 21 Agustus lalu atau setelah setelah kasus ijazah Jokowi semakin ramai di publik.

Kepala Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad itu pun menekankan betapa pentingnya azas keterbukaan informasi publik. Menurutnya, hal itu harus sangat dipegang betul oleh seluruh K/L.

"Nanti misalkan menghadapi Pilpres 2029, dokumen-dokumen mana saja yang bisa dibuka ke publik dan mana saja yang tidak, tapi itu konsisten dilakukan dan punya argumen sendiri, bukan hanya untuk kepentingan sesaat, sehingga tuduhan-tuduhan dari publik itu tidak terjadi seperti sekarang," katanya.

Problem di KPU

Terpisah, pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum UI Titi Anggraini berpendapat keputusan KPU yang hanya bertahan seumur jagung itu menunjukkan bahwa keputusan awal itu tak dilandasi dengan pertimbangan hukum dan asas keterbukaan yang kokoh.

Oleh karena itu, ia menganggap wajar jika publik mempertanyakan apakah KPU betul-betul memiliki basis hukum yang kuat ketika menetapkannya atau justru hanya sekadar 'menguji respons' publik belaka.

Titi mengapresiasi respons cepat KPU mencabut keputusan tersebut. Namun, ia menyoroti problem serius di tubuh KPU dalam membuat keputusan atau kebijakan terkait pemilu.

"Yakni lemahnya kualitas pengambilan keputusan, terutama terkait hal-hal yang berkaitan langsung dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas," kata Titi.

Titi berpendapat keputusan inilah yang kemudian membuat publik berspekulasi bahwa langkah itu berkaitan dengan upaya melindungi pejabat atau figur tertentu.

"Memang tidak bisa dihindari, apalagi berkaca dari adanya kontroversi soal ijazah Presiden Jokowi beberapa waktu lalu. Justru karena itu KPU seharusnya ekstra hati-hati agar tidak memunculkan tafsir politis atau kesan berpihak," ujarnya.

Titi mengingatkan kepada KPU untuk lebih berhati-hati dalam mengambil langkahnya ke depan agar tidak menuai kontroversi kembali.

Ia menyatakan keputusan KPU yang menyangkut akses informasi publik sejak awalnya harus dibuat dengan rujukan hukum yang jelas, konsisten dengan azas keterbukaan, dan memperhatikan standar hak publik atas informasi pemilu sebagaimana diatur UU.

Titi menyampaikan hanya dengan cara itulah KPU bisa menjaga kepercayaan publik sekaligus menjauhkan diri dari tuduhan politis yang berpotensi merusak kredibilitasnya.

"Jadi, yang paling penting adalah memastikan KPU tidak menggunakan kewenangannya secara serampangan atau coba-coba," ucap dia.

Terpisah, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal mengatakan lahirnya Keputusan KPU RI No. 731 Tahun 2025 itu menunjukkan bahwa KPU tidak profesional dalam membuat putusan tersebut.

"Tentu ini menunjukkan bahwa KPU tidak profesional dalam membuat putusan ini," kata Haykal.

Haykal menyatakan kasus ini harus menjadi catatan bahwa dalam menyusun keputusan itu juga diduga tidak diikuti dengan pertimbangan yang memadai dan dengan dasar hukum yang kuat.

Menurutnya, KPU harus segera mengeluarkan SK pembatalan.

"Menyampaikan pembatalan sebuah keputusan juga harus diikuti dengan SK pembatalan yang dikeluarkan KPU, oleh karena itu KPU harus segera mengeluarkan keputusan baru yang membatalkan keputusan 731," ucap dia.

(fra/mnf/fra)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Kasus | | | |