Jakarta, CNN Indonesia --
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang dasar (UUD) 1945 menyatakan Indonesia sebagai negara hukum. Konsekuensi dari hal tersebut, hukum wajib menjadi kekuasaan tertinggi di Indonesia. Sejumlah prinsip negara hukum juga harus dipatuhi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu jenis hukum yang berlaku dan diterapkan serta diatur dalam undang-undang di Indonesia adalah hukum Islam.
Berdasarkan buku 'Pengantar Hukum Islam' karya Rohidin, kata hukum Islam merupakan terjemahan dari literatur barat yang menyebut Islamic Law. Meski begitu, menurut Rohidin, Al-Quran tidak pernah menyebutkan kata hukum Islam, melainkan menggunakan istilah syari'ah, fiqih, hingga hukum Allah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara sederhana, menurut Rahman Syamsuddin dalam 'Pengantar Hukum Indonesia', hukum Islam memiliki hierarki dalam sumber hukum. Sumber hukum tertinggi dan utama adalah Al-Qur'an, dan sunah yang kerap menjadi rujukan jika menemui persoalan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.
Kemudian Ijma' yaitu pandangan yang diterima secara umum di kalangan orang beriman serta cendekiawan hukum dalam menafsirkan Al-Quran dan Sunnah.
Tak hanya itu, ada juga sumber yang disebut qiyas. Itu adalah penalaran dengan logika, terutama untuk menghasilkan regulasi untuk situasi yang tidak secara langsung dicakup sumber-sumber dasar.
Menurut Rohidin, penerapan hukum Islam sudah mulai dilakukan sejak zaman kerajaan ketika Indonesia belum merdeka.
Beberapa diantaranya diterapkan oleh kerajaan Aceh, kerajaan Mataram pimpinan Sultan Agung. Kala itu, mereka telah membentuk pengadilan agama dengan ragam bentuk dan sistematika.
Penerapan hukum Islam tersebut terus berlanjut ketika masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang di Indonesia hingga kini dengan segala perkembangannya. Rohidin menjelaskan setidaknya ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang turut berbasis hukum syariah.
Pertama, UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang kini diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2009.
Kedua, UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Melalui UU tersebut Baznas menjadi lembaga yang memiliki kewenangan dominan dalam mengelola rukun Islam ketiga tersebut.
Ketiga, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Melalui peraturan ini turut diatur terkait masalah nazhir wakaf atau orang/badan hukum yang bertugas mengelola wakaf.
UU tersebut juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) serta pengaturan harta benda wakaf sesuai ketentuan syariah.
Keempat, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Terdapat sejumlah Perda yang merujuk UU tersebut dan berbasis hukum syariah. Salah satunya, hukum jinayat yang mengatur tentang tindak pidana kejahatan seperti perzinahan, mabuk, hingga pencurian.
Kelima, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Ini mengatur tentang kekhususan perbankan syariah yang memiliki perbedaan dengan perbankan konvensional. Salah satu hal yang diatur dalam UU tersebut dan berbasis hukum Islam adalah larangan riba dengan segala macam bentuknya.
Keenam, UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Aturan tersebut secara umum mengatur sejumlah hal. Seperti transparansi pengelolaan SBSN dan jenis akad yang digunakan.
Ketujuh, UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. UU tersebut mengatur ragam hal yang turut berbasis syariah Islam.
Beberapa diantaranya; mengatur bahwa peradilan beragama berwenang memutus dan menyelesaikan perkara bidang perkawinan, kewarisan, hingga wasiat diantara orang-orang Islam.
Di sisi lain, aturan perkawinan, kewarisan, hingga wakaf diatur secara rinci dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Beberapa hukum Islam yang diatur secara rinci di dalam KHI itu seperti prinsip perkawinan yang diatur dalam UU No 1 Tahun 1974.