Jakarta, CNN Indonesia --
Kejagung telah menahan tujuh tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk pada PT Pertamina, subholding, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023 pada Senin (24/2) lalu.
Ketujuh orang yang telah ditahan terdiri dari empat pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta.
Mereka adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga. Kemudian, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya, pihak swasta mencakup MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.
Berikut fakta-fakta dan modus dugaan korupsi tersebut berdasarkan rangkuman CNNIndonesia.com:
Kerugian negara capai Rp193,7 triliun
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar mengatakan kasus dugaan korupsi ini membuat negara merugi lebih dari Rp193 triliun.
"Adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun yang bersumber dari berbagai komponen," kata Qohar dalam konferensi pers pada Senin (24/2) malam.
"Yang pertama kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kemudian kerugian impor minyak mentah dalam melalui broker, kerugian impor BBM melalui broker, kerugian pemberian kompensasi dan kerugian karena pemberian subsidi karena harga minyak tadi menjadi tinggi," imbuhnya.
Pertalite hasil impor dioplos jadi Pertamax
Qohar menjelaskan salah satu modus korupsi dalam kasus ini, tersangka RS diduga menyelewengkan spek minyak yang dibeli melalui mekanisme impor. Ia diduga membeli minyak jenis RON 92 (Pertamax) padahal yang dibeli RON 90 (Pertalite).
Adapun pembelian minyak mentah impor itu diduga dilakukan setelah fakta penyidikan menyatakan tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) untuk menurunkan readiness/produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya.
Padahal pada periode itu pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.
"Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan," jelas Qohar.
Sementara itu PT Pertamina (Persero) memastikan Pertamax yang dibeli masyarakat bukan oplosan. Pernyataan itu merespons penjelasan Kejaksaan Agung soal modus korupsi para tersangka.
VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso membantah isu bahwa masyarakat mendapatkan Pertalite (Ron 90) saat membeli Pertamax (Ron 92) di semua SPBU milik Pertamina.
"Bisa kita pastikan tidak ada yang dirugikan di aspek hilir atau di masyarakat, karena masyarakat kita pastikan mendapatkan yang sesuai dengan yang mereka beli," kata Fajar saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (25/2).
Fajar menilai ada kesalahpahaman di masyarakat dalam isu Pertamax oplosan. Menurutnya, Kejaksaan Agung tak menyebut ada dugaan pengoplosan Ron 90 menjadi Pertamax.
Dia menjelaskan Kejaksaan Agung sedang mendalami pembelian Ron 90 dan Ron 92 yang dilakukan sejumlah pejabat Pertamina. Namun, tak ada pernyataan dari Kejagung soal BBM oplosan.
"Bukan adanya oplosan, sehingga mungkin narasi yang keluar, yang tersebar, sehingga ada misinformasi di situ," ujarnya.
Kejagung geledah rumah Riza Chalid
Dalam kasus ini penyidik Kejagung juga telah menggeledah rumah saudagar minyak Mohammad Riza Chalid yang merupakan ayah dari tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR).
"Penggeledahan sedang dilakukan hari ini. Penyidik sekarang sedang melakukan upaya penggeledahan dan masih berlangsung. Dimulai sejak pukul 12.00," kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar di kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (25/2).
"Penggeledahan pertama di Plaza Asia lantai 20, kedua di jalan Jenggala di Kebayoran Baru [Jakarta Selatan]," imbuhnya.
Kejagung sita uang Rp971 juta
Harli mengatakan Kejagung turut menyita uang tunai senilai Rp971.046.000 dalam kasus ini. Uang tersebut disita penyidik usai melakukan penggeledahan di rumah tersangka Dimas Werhaspati, pada Senin (24/2) malam.
"Diperoleh di rumah tersangka DW selaku Komisaris PT NK dan Komisaris PT Jenggala Maritim," ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (25/2).
Harli mengungkap uang yang berhasil disita terdiri dari 20.000 dolar Singapura atau sekitar Rp244.146.000 dan 20.000 dolar AS atau sekitar Rp326.900.000.
"Serta 4.000 lembar mata uang pecahan 100 ribu Rupiah, dengan total Rp400 juta," jelas dia.
(dal/mab)