Daftar Catatan Kritis Koalisi Sipil soal Isi RKUHAP

6 hours ago 6

Jakarta, CNN Indonesia --

Koalisi masyarakat sipil menyampaikan sederet catatan kritis terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah dibahas DPR bersama pemerintah.

Sejumlah organisasi sipil menilai materi RKUHAP sejauh ini berpotensi melegitimasi praktik kesewenang-wenangan aparat, melemahkan peran advokat, hingga mengancam perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Selain memprotes keterbukaan hingga kilatnya waktu pembahasan RKUHAP, dari catatan YLBHI bersama koalisi masyarakat sipil untuk pembaruan KUHAP terhadap pembahasan RKUHAP menemukan setidaknya 11 persoalan krusial.

Berikut sederet catatan kritis RKUHAP yang menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas sejumlah individu dan organisasi sipil yang dikutip dari laman YLBHI dan KontraS, serta dalam diskusi di platform X pada akhir pekan lalu.

1. Polri jadi makin superpower

Polri jadi makin superpower dalam proses penyidikan membawahi Penyidik non-Polri dikecualikan hanya untuk KPK, Kejaksaan, dan TNI. Penyidik Polri menjadi Penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Syarat kepangkatan, pendidikan, dan sertifikasi akan diatur dengan peraturan (Pasal 6 s/d 8 jo Pasal 20);

Hal tersebut dinilai berpotensi berbahaya di tengah tingginya catatan kekerasan oleh aparat, terutama kepolisian.

"Kita kemarin juga lihat Polri bisa atur rapat anggaran DPR minta anggaran tambahan dana 60 lebih triliun di saat peningkatan kerusakan mereka. Berdasarkan laporan KontraS, setidaknya dalam satu tahun terakhir ada 602 kekerasan yang dilakukan Polri bahkan ada 10 orang setidaknya meninggal dunia. Apakah kita mau menyepakati bahwa penyusunan KUHAP yang banyak mengatur kewenangan polisi itu akan berjalan di situasi Polri seperti hari ini?" ujar perwakilan KontraS dalam diskusi di platform X pada Minggu (13/7).

Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana juga menyebut draf ini tidak jauh berbeda dengan RUU Polri yang sempat muncul pertengahan 2024.

"Kalau dibaca, ini tidak jauh dengan RUU Polri yg sempat muncul di pertengahan 2024. Misalnya, jadi penyidik utama, kewenangan penyadapan, dan sebagainya, itu ternyata masuk ke RUU KUHAP," sambung Arif dalam kesempatan yang sama.

2. Ruang bagi TNI jadi penyidik tindak pidana umum

Koalisi juga mengkritisi ruang yang diberikan kepada TNI semua matra bisa menjadi penyidik tindak pidana. (Pasal 7 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (4), Pasal 92 Ayat (4)). Mengutip dari laman YLBHI, hal itu membuka ruang bagi TNI untuk menjadi Penyidik dalam Tindak Pidana Umum.

3. Penangkapan dan penahanan oleh polisi

Mereka juga mengkritisi polisi bisa melakukan penangkapan sampai dengan 7 hari. Pasal ini berbahaya karena bertentangan dengan standar HAM internasional dan lebih buruk dari KUHAP lama yang membatasi waktu penangkapan maksimal 1×24 jam.

Polisi bisa melakukan penahanan kapan saja tanpa izin Pengadilan dengan dalih mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada Penyidik.

Alasan penahanan dipermudah. Jika dianggap tidak bekerjasama dalam pemeriksaan atau dianggap memberikan informasi tidak sesuai fakta dapat ditahan oleh Penyidik. (Pasal 93 Ayat (5)).

Pasal itu pun membuka ruang penahanan terhadap tersangka yang dianggap tidak kooperatif, tanpa kejelasan definisi. Durasi penahanan juga diperpanjang. Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengkritisi ketidakjelasan frasa 'tidak bekerjasama' dalam pasal tersebut.

"Tersangka bisa ditahan ketika dia tidak mau bekerjasama dengan penegak hukum. Enggak jelas maksud bekerjasama ini apa, bukankah tersangka terdakwa memiliki hak ingkar?" ujar perwakilan IJRS dalam diskusi di platform X akhir pekan lalu.

Lebih lanjut, dalam diskusi yang sama, LBH Jakarta menyoroti logika penambahan masa penahanan bagi tersangka yang sakit.

"Penahanan ini ditambah durasinya, 2 kali 30 hari dengan 2 alternatif alasan, tersangka/terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat dengan surat keterangan dokter atau ancaman pidana di atas 9 tahun. Bagi kami, orang yang menderita gangguan fisik atau kondisi mental yang berat ya dirawat di RS, diobati, bukan ditahan atau penambahan penahanan," tegas perwakilan LBH Jakarta.

4. Penggeledahan dan penyitaan sewenang-wenang

Penggeledahan sewenang-wenang dilegitimasi. Penggeledahan bisa dilakukan tanpa izin Pengadilan jika dalam keadaan mendesak dan bukan hanya pada benda yang terkait dengan tindak pidana. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif Penyidik. (Pasal 105 jo Pasal 106);

Penyitaan sewenang-wenang dilegitimasi. Penyitaan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif Penyidik. (Pasal 112 Ayat (3)).

5. Risiko abaikan pengaduan atau laporan warga

Koalisi juga memandang potensi risiko pengaduan atau laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti berpotensi terus menumpuk karena tidak tersedia mekanisme penyelesaian yang jelas dan independen.

Jika Penyidik mengabaikan laporan, masyarakat hanya diarahkan untuk mengadu kepada atasan Penyidik atau pejabat pengawas penyidikan - itupun baru bisa dilakukan setelah 14 hari. Mekanisme ini sepenuhnya berada di lingkup internal kepolisian, yang selama ini terbukti gagal menangani pelanggaran, terutama jika pelakunya adalah anggota kepolisian itu sendiri.

6. Tak akomodasi bantuan hukum untuk semua orang

Keadilan untuk semua hanya akan jadi jargon karena bantuan hukum tidak untuk semua orang, hanya untuk tersangka yang tidak mampu atau tidak mempunyai advokat sendiri yang diancam pidana kurang dari 5 tahun. Sedangkan bantuan hukum untuk kelompok rentan tidak diakomodasi.

Hak untuk memilih kuasa hukum sendiri dihapus dalam draf KUHAP baru. Jika tersangka tidak mampu atau tidak punya kuasa hukum, justru Penyidik yang akan menunjuk pengacara - bukan si tersangka yang memilih. Ini membuka ruang praktik kuasa hukum formalitas atau pocket lawyer, yang hanya jadi pelengkap tanpa membela kepentingan hukum tersangka. (Pasal 145 ayat (1)).

LBH Jakarta menilai ini sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab negara.

"Kalau bantuan hukum sama dengan pro bono advokat, artinya negara lari dari tanggung jawab. Advokat sebagai entitas mandiri justru dibebankan kewajiban baginya untuk memberikan dampingan hukum, padahal harusnya negara juga hadir, dalam konteks memberikan fasilitas memadai, anggaran proporsional untuk bantuan hukum," tegas LBH Jakarta dalam diskusi di platform X akhir pekan lalu.

7. Melemahkan advokat

Koalisi menilai klaim penguatan advokat oleh pemerintah tidak berdasar. Pasal 36, misalnya, membuat advokat harus memanggil sendiri saksi yang meringankan klien mereka. IJRS dalam diskusi koalisi sipil di platform X akhir pekan lalu menyebut ini justru memperlemah peran advokat.

"Coba cek pembahasan kemarin, ketika tersangka dan advokatnya membutuhkan saksi yang bisa meringankan dia supaya bisa diperiksa penyidik, pemanggilannya tidak dilakukan penyidik, tapi oleh advokat itu sendiri. Advokat harus kerja keras untuk memanggil saksi-saksi, itu di Pasal 36. Ini memperlemah advokat sebenarnya," ujar perwakilan IJRS dalam diskusi iut.

Senada, YLBHI juga tidak melihat adanya penguatan advokat dalam RUU KUHAP seperti yang terus diklaim oleh DPR dan pemerintah.

"Penguatan advokat menurut mereka yang kami lihat secara kasar, perlindungan advokat dari kriminalisasi atau impunitas advokat, tapi ini kan bukan hal baru. Impunitas advokat telah diatur dalam berbagai aturan perundang undangan sehingga KUHAP punya kewajiban menguatkan. Tapi kebaruan apa yang ada, dalam konteks lain misalnya, enggak ada kebaruan terkait free trial discovery rights, hak advokat mengakses berkas perkara, bukti, dokumen peradilan berimbang, menyanggah bukti yang dihadirkan negara, itu kan enggak ada. Dalam konteks ini penguatan apa yang terjadi? Klaim penguatan advokat kami pikir tidak bisa dikatakan penguatan karena ngga ada kebaruan," tegas Arif.

8. Penyadapan

Ada bahaya penyadapan sewenang-wenang. Poin ini diatur dalam Pasal 124 yang bilang bahwa Penyidik dapat menyadap tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak yang salah satu indikatornya adalah situasi berdasarkan penilaian subjektif Penyidik.

Dalam diskusi di platform X akhir pekan lalu, BEM FH UI mengkritisi tumpang tindih regulasi penyadapan.

"Dalam pembahasan daftar inventaris masalah (DIM), DPR dan pemerintah sepakat untuk membiarkan pelaporan soal penyadapan berserakan di perundang-undangan. Padahal MK dalam putusan nomor 5 tahun 2010 sudah pernah memerintahkan adanya sinkronisasi peraturan mengenai penyadapan dalam suatu undang undang," demikian pernyataan mereka.

9 Partisipasi publik tidak bermakna 

YLBHI dan IJRS menilai proses partisipasi publik dalam penyusunan RUU KUHAP hanya formalitas dan tidak mencerminkan dialog substantif.

"Partisipasi bermakna tidak boleh hanya dimaknai diundang, didengar, sudah. Tapi masukannya tidak dipertimbangkan dan diberikan penjelasan bagaimana mereka mempertimbangkan masukan itu," kata Arif mewakili YLBHI.

Baca halaman selanjutnya


Read Entire Article
Kasus | | | |