Jakarta, CNN Indonesia --
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyentil Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Mahyeldi Ansharullah, terkait pernyataannya soal penyebab bencana banjir dan longsor di wilayahnya.
Walhi meminta Mahyeldi tidak cuci tangan terkait pernyataan pemberian izin hak atas tanah oleh Kementerian Kehutanan dalam dialog di stasiun televisi. Walhi meminta Mahlyedi tidak bersembunyi dan melempar tanggung jawab.
"Dalam catatan Walhi Sumatera Barat, Gubernur Sumatera Barat dan Menteri Kehutanan adalah state aktor utama yang bertanggung jawab atas bencana ekologis di Sumatera Barat. Jangan berebut cuci tangan di tengah gagalnya pemerintah daerah dan pusat, kini pranata kehidupan masyarakat hancur akibat bencana ekologis," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Wengki Purwanto mengutip detikcom, Minggu (14/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wengki lantas mengingatkan Mahyeldi mengenai kebijakannya selama menjabat Gubernur Sumbar. Dia menilai Mahyeldi gagal dalam menjaga hutan di Sumbar.
"Bukankah, Gubernur Sumatera Barat memberikan rekomendasi agar Hutan Sumatera Barat, kayu-kayunya dibabat atas nama investasi! Jangan sembunyi. Bukankah? Gubernur Sumatera Barat juga gagal menjaga hutan yang menjadi kewenangannya, sehingga hutan dan daerah aliran sungai hancur akibat tambang ilegal. Bukankah Pemerintah Sumatera Barat juga terlibat memberikan izin tambang di kawasan rawan bencana? Ayo jadilah berani dan tunjukkan tanggung-jawab," kata Wengki.
Wengki menyebutkan, pada Februari 2021, Mahyeldi merekomendasikan kepada Menteri LHK soal kawasan hutan seluas ± 43.591 ha di Kabupaten Solok Selatan untuk usaha hasil hutan kayu hutan alam. Namun, kata Wengki, hutan yang direkomendasikan di dalamnya juga terdapat 6 izin perhutanan sosial yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.
"Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga pernah merekomendasikan hutan dipulau kecil SIPORA Kab. Kepulauan Mentawai seluas ± 25.325,34 ha untuk perusahaan PT Sumber Permata Sipora, yang juga bergerak di bidang usaha hasil hutan kayu hutan alam," ujar dia.
Selain itu, Wengki mengatakan selama 1990-2014, seluas ±158.831,4 Ha hutan di Sumbar juga diberikan untuk 29 perusahaan besar perkebunan. Menurut Wengki, hutan telah berubah menjadi hamparan perkebunan besar kelapa sawit.
"Belakangan terbukti, sebagian dari perusahaan tersebut telah mengubah hutan untuk kebun sawit secara melawan hukum atau ilegal. Pemerintah daerah terlibat dalam prosesnya. Jangan mengelak. Selain menimbulkan derita bagi masyarakat, karena hak-haknya tidak direalisasikan sesuai kesepakatan pembangunan kebun dan hidup dalam konflik berkepanjangan. Kini akibat krisis ekologis yang menumpuk, bencana sosial-ekologis terus berulang," urai Wengki.
Walhi juga mencatat hingga 2020, setidaknya hutan di Sumbar seluas ±183.705 Ha dibebani izin untuk dieksploitasi dalam bentuk hasil hutan kayu dari hutan alamnya. Sedangkan seluas 65.432,90 Ha untuk hutan tanaman industri.
"Selain itu, juga tercatat seluas 1.456,54 ha hutan Sumatera Barat juga diberikan untuk aktifitas tambang. Sementara, akibat tambang emas ilegal kerusakan hutan, lahan dan daerah aliran sungai di 4 Kabupaten saja sudah menyentuh angka 7.662 ha. Menyebar di Kab Solok Selatan seluas 2.939 ha, Kab Solok 1.330 ha, Kab Sijunjung 1.174 ha, dan Kab Dharmasraya 2.179 ha. Belum termasuk kerusakan yang terjadi di Kab Agam, Kab Padang Pariaman, Kab Pasaman, Kab Pasaman Barat dan Kab/Kota lainnya, wilayah kelola masyarakat hancur akibat aktivitas tambang ilegal," kata Wengki.
Wengki mengingatkan saat semua kerusakan tersebut belum dihentikan, Gubernur Sumbar disebut telah mengusulkan lahan seluas 17.700 Ha yang dibagi menjadi 496 blok sebagai wilayah pertambangan di 10 Kabupaten di Sumbar. Dia mengkritik kebijakan Mahyeldi tersebut.
"Bukan memulihkan krisisnya, tetapi memperluas skala eksploitasinya," ujar Wengki.
Pemprov Sumbar buka suara
Merespons Walhi, Pemprov Sumbar menyebut pernyataan Mahyeldi itu sudah sesuai dengan kewenangan masing-masing lembaga.
"Saya tidak mengerti apa yang dipersoalkan oleh Walhi dengan pernyataan Pak Gub. Karena yang saya dengar, Gubernur menyampaikan saran untuk tata kelola hutan perlu diperbaiki dengan mencontohkan adanya pemanfaatan kayu tumbuh alami pada lahan milik masyarakat yang kurang melibatkan daerah (terutama kabupaten/kota) secara optimal," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, Ferdinal Asmin, mengutip detikcom.
"Wajar saja Pak Gub mengusulkan itu, karena semua yang berkaitan dengan perizinan kehutanan memang adalah kewenangan pusat," imbuhnya.
Fernaldi juga merespons terkait sejumlah rekomendasi Pemprov Sumbar soal izin operasi perusahaan di kawasan hutan hingga pembabatan. Fernaldi menyebut perizinan berusaha kehutanan saat ini diarahkan ke usaha multiguna.
"Berkaitan dengan sejumlah rekomendasi yang disebutkan, itu pun perusahaannya masih proses perizinan dan belum beroperasi, bahkan salah satu rencana izin di Solok Selatan itu pun sepertinya untuk kegiatan restorasi ekosistem. Karena memang, saat ini, perizinan berusaha kehutanan diarahkan kepada usaha multiguna, tidak melulu kayu," ujarnya.
Fernaldi membantah adanya pencaplokan wilayah perhutanan sosial di Kabupaten Solok Selatan untuk usaha hasil hutan kayu hutan alam. Dia juga mengatakan, sejak 5 tahun terakhir tidak ada pertambahan wilayah izin untuk korporasi di Sumbar.
"Berkaitan dengan adanya wilayah Perhutanan Sosial yang disangkakan dicaplok oleh rencana izin tersebut, hal itu adalah tidak mungkin, karena perizinan itu tidak boleh tumpang tindih. Bahkan dalam transformasi kebijakan kehutanan nasional, diarahkan agar izin usaha juga mempertimbangkan penyediaan lahan kelola bagi masyarakat sekitar," kata dia.
"Sejak lima tahun terakhir, tidak ada pertambahan wilayah izin untuk korporasi di Sumbar. Yang bertambah adalah wilayah kelola masyarakat melalui Perhutanan Sosial. Bahkan jumlah luasan wilayah kelola masyarakat itu 2 kali lipat dari wilayah kelola korporasi," imbuhnya.
Fernaldi membenarkan bahwa di wilayah Sumbar ada izin tambang dalam kawasan hutan. Namun, dia mengaku pihaknya bersama pemerintah pusat sedang berupaya menangani tambang liar.
"Sumbar itu laju deforestasinya kecil, dan sebagian deforestasi itu lebih karena kebutuhan fasilitas sosial dan umum serta kebutuhan masyarakat," jelasnya.
Baca berita lengkapnya di sini.
(tim/dal)

8 hours ago
9















































