Jakarta, CNN Indonesia --
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengungkapkan seharusnya hakim menjatuhkan vonis berat terhadap para pelaku korupsi.
Johanis menyampaikan itu untuk merespons putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) yang juga mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Kata dia, negara telah berupaya membuat Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dengan ancaman hukuman paling berat yakni pidana mati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dengan maksud agar uang rakyat yang dipungut negara guna keberlangsungan pembangunan nasional tidak dikorupsi oleh orang-orang tak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
"Oleh karena itu, sudah selayaknya pelaku tindak pidana korupsi dihukum dengan hukuman yang setinggi-tingginya atau seberat-beratnya seperti yang pernah dilakukan oleh Hakim Agung Almarhum Artidjo Alkostar, bukan dihukum dengan hukuman yang seringan-ringannya," kata Johanis saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Rabu (2/7).
Johanis menegaskan pernyataan tersebut merupakan pandangan pribadinya, tidak mewakili respons lembaga antirasuah.
Dia mafhum tak ada seorang pun yang bisa mengintervensi hakim dalam melaksanakan tugasnya. Hanya saja, kata dia, perlu diingatkan lagi bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa dan memerlukan penanganan serius.
"Kita perlu menggugah perasaan hakim agar memikirkan juga bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan yang sangat luar biasa sehingga penanganannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa juga, yang dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan, melimpahkan berkas perkara ke pengadilan untuk disidangkan dan diputus oleh hakim," tutur Johanis.
"Baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali untuk diputus dengan memuat irah-irah 'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa' karena putusannya akan dimintakan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan, bukan di hadapan manusia yang masih punya salah dan dosa," sambungnya.
Dia lantas mengenang Artidjo Alkostar yang selalu menjatuhkan putusan berat terhadap pelaku korupsi yang mengajukan upaya hukum.
"Hal seperti itu yang perlu dilakukan agar orang takut melakukan tindak pidana korupsi yang sangat meresahkan rakyat selaku pemilik uang yang dipungut oleh negara untuk kepentingan pembangunan negeri kita tercinta, bukan untuk dikorupsi atau dicuri untuk kepentingan pribadi atau kelompok orang tertentu," ucap dia.
"Kita perlu mempertimbangkan untuk menoleh hakim di Singapura yang berani memvonis pelaku korupsi di Singapura dengan hukuman yang sangat berat, termasuk denda besar dan hukuman penjara yang lama, bahkan hukuman mati untuk kasus tertentu," sambungnya.
Atas kondisi hukum tersebut, Johanis memandang wajar Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Singapura pada tahun 2024 bisa mencapai 84 poin, yang berarti korupsi di sana sangat rendah bila dibandingkan dengan IPK Indonesia pada tahun 2024 yang hanya mencapai 37 poin (korupsi sangat tinggi).
MA mengabulkan PK Setnov dan mengurangi hukuman yang bersangkutan dari semula 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara. Setnov juga dikenakan denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, Setnov juga dihukum membayar uang pengganti sejumlah US$7.300.000 dikompensasi sebesar Rp5 miliar yang telah dititipkan oleh terpidana kepada Penyidik KPK dan yang telah disetorkan terpidana.
"Sisa UP (uang pengganti) Rp49.052.289.803,00 subsidair 2 tahun penjara."
Setnov juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik selama 2 tahun dan 6 bulan terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.
Setnov dinilai terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Perkara nomor: 32 PK/Pid.Sus/2020 itu diperiksa dan diadili oleh ketua majelis Surya Jaya dengan hakim anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono. Panitera Pengganti Wendy Pratama Putra. Putusan dibacakan pada Rabu, 4 Juni 2025.
Sebelumnya, Setnov yang merupakan politikus Partai Golkar dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia juga dihukum membayar uang pengganti sebesar US$7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang telah diberikan terdakwa kepada penyidik KPK dengan ketentuan subsider 2 tahun kurungan penjara.
Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut hak untuk menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung sejak terpidana menjalani masa pemidanaan.
Pengacara: Setnov harusnya bebas
Sementara itu pengacara Setnov, Maqdir Ismail menilai seharusnya MA membebaskan kliennya, tak cukup dengan mengurangi hukuman saja.
"Menurut hemat saya itu tidak cukup, seharusnya bebas," ujar Maqdir saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Rabu.
Maqdir menilai Setnov tidak bisa dikenakan delik merugikan keuangan negara sebagaimana Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terkait pengadaan e-KTP.
Sebab, menurut dia, Setnov tidak mempunyai kewenangan terkait dengan pengadaan proyek yang merugikan negara sejumlah Rp2,3 triliun tersebut. Setnov bukan Anggota Komisi II DPR RI.
"Dia didakwa dengan Pasal yang salah. Dakwaan yang paling tepat untuk dia adalah suap," kata Maqdir.
"Dia dianggap terbukti menerima uang, tapi karena tidak ada jabatan terkait pengadaan, maka seharusnya dia terima uang sebagai gratifikasi atau suap," sambungnya.
(kid)