Catatan Evaluasi di Balik Pemungutan Suara Ulang 24 Daerah

2 weeks ago 19

Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah imbas dugaan pelanggaran dan pertimbangan hukum yang beragam.

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay berpendapat putusan MK soal PSU menandakan ada yang salah dengan kualitas penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu.

"Mereka tidak profesional dan patut diduga terkait juga dengan integritas mereka," kata Hadar saat dihubungi, Rabu (26/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mantan Komisioner KPU RI ini menyebut banyak perkara yang diputus MK itu terkait dengan persyaratan calon.

Menurutnya, hal tersebut seharusnya bisa diketahui dan paslon dinyatakan tidak memenuhi syarat saat proses pendaftaran dan penetapan calon.

"Jika KPU tidak mampu melakukannya, Bawaslu sebagai pengawas seharusnya bisa mengisi kelemahan KPU ini. Fungsi pengawasan dan supervisi dalam struktur hierarki internal KPU juga kelihatan tidak berjalan," katanya.

Hadar menyoroti peristiwa di Pilbup Serang. Ia mengatakan dalam pemilihan, memang tidak jarang kualitasnya diganggu dengan pejabat dan aparat yang menyalahgunakan jabatan, fasilitas, serta pengaruh untuk memenangkan calon paslon tertentu.

Ia mengapresiasi MK yang menggunakan wewenangnya untuk mengkoreksi pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan yang menyimpang jauh dari prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilihan yang demokratis.

"Bahwa dibutuhkan biaya tambahan untuk melakukan PSU, harus kita terima sebagai konsekuensi jika kita ingin memastikan sistem demokrasi kita berjalan dengan berkualitas," ujar dia.

KPU abai putusan MK terdahulu

Terpisah, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati mengatakan PSU di berbagai daerah salah satunya merupakan dampak dari KPU yang abai terhadap putusan MK terdahulu.

MK berpendapat seseorang sudah dihitung menjabat sebagai kepala daerah sejak secara riil dan faktual menjalankan tugas menggantikan dan bukan sejak pelantikan sebagai pejabat pengganti.

Pertimbangan demikian merujuk pada empat Putusan MK terdahulu, yakni Nomor 22/PUU-VII/2009, 67/PUU-XVIII/2020, 2/PUU-XXI/2023, dan 129/PUU-XXI/2024.

Sementara itu di PKPU, menyebutkan periodisasi dihitung sejak pelantikan. Masalah periodisasi ini terjadi di Pilbup Tasikmalaya dan Bengkulu Selatan yang berujung PSU.

"Di sini lah kita juga mempertanyakan posisi KPU, mengapa ada banyak pasal di PKPU yang justru berpotensi gugatan sengketa. Harusnya KPU banyak belajar dari pengalaman," kata dia.

Neni pun menyoroti peran Bawaslu selama masa tahapan pilkada berlangsung yang dinilai tidak mampu menegakkan keadilan pilkada.

Ia menyayangkan hal itu karena Bawaslu punya petugas hingga TPS. Ia mengaku pernah melaporkan 30 dugaan pelanggaran ke Bawaslu namun hingga kini tidak ada kabar tindaklanjutnya.

Ke depan, ia berpendapat jika memang Bawaslu tetap dipertahankan, perlu dilakukan transformasi.

"Saya melihat penyelenggara pemilu jauh dari etika, moralitas dan keadaban. Bahkan cenderung jauh dari harapan," katanya.

Evaluasi penyelenggara di daerah

Hadar mengatakan sebelum penyelenggara memulai kerja untuk melaksanakan PSU, KPU RI dan Bawaslu RI perlu segera melakukan evaluasi terhadap para penyelenggara di daerah.

KPU dan Bawaslu diminta tegas dan tidak ragu untuk merekomendasikan pemberhentian para komisioner yang diduga sebagai pihak yang telah secara sengaja mengambil tindakan yang mengakibatkan pilkada daerah terkait harus diulang.

"Bawaslu harus secara ketat mengawasi pelaksanaan PSU," kata dia.

Sementara itu, Neni mendorong gelaran Pilbup diambil alih KPU Provinsi, khususnya di Tasikmalaya.

Ia khawatir ada konflik kepentingan dalam melaksanakan PSU sebab KPU Kabupaten Tasikmalaya dinilai kurang kredibel dalam menyelenggarakan pilkada ketika meloloskan Ade Sugianto sebagai Calon Bupati Kabupaten Tasikmalaya.

Selain itu, Neni mengaku telah bertanya ke beberapa Sekda yang daerahnya akan menggelar PSU. Ada keluhan soal anggaran sebab memang sebelumnya tidak disiapkan anggaran jika digelar PSU.

Ia mendorong daerah yang tidak mampu menggelar PSU agar pembiayaan dibantu pemerintah pusat.

"Inilah bentuk kecerobohan KPU akhirnya kan rakyat yang menjadi korban. Berapa banyak kerugian negara yang harus ditanggung. Tapi Putusan MK sudah progresif tidak bisa mentolerir berbagai hal yang merusak demokrasi untuk mewujudkan keadilan pilkada. Maka, solusinya adalah harus dibantu oleh pemerintah pusat," katanya.

MK telah menggelar sidang pengucapan putusan untuk 40 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah 2024, yang dilanjutkan ke tahap pembuktian, Senin (24/2).

40 perkara itu mencakup 3 perkara Pemilihan Gubernur (Pilgub), 3 perkara Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot), dan 34 perkara Pemilihan Bupati (Pilbup).

Dari 40 perkara itu, 24 di antaranya MK memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) dengan pertimbangan hukum yang berbeda-beda.

Di Pilwalkot Banjarbaru contohnya, MK memerintahkan KPU setempat menggelar PSU dengan menghadirkan kolom kosong.

MK menyatakan Pilwalkot Banjarbaru melanggar konstitusi karena dalam praktiknya, gambar pasangan calon nomor urut 2 terpampang dalam kertas suara dan pemilih yang mencoblosnya ditetapkan sebagai suara tidak sah.

Di Pilbup Tasiklamalaya, MK menyatakan Cabup nomor urut 3, Ade Sugianto didiskualifikasi sebagai peserta Pilkada serentak 2024 karena sudah
menjabat dua periode pemerintahan. PSU diminta tanpa mengikutsertakan Ade.

Sementara di Pilbup Serang, MK menemukan bukti dan fakta yang menunjukkan cawe-cawe Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto dalam pemenangan pasangan Ratu Rachmatuzakiyah-Muhammad Najib. Ratu adalah istri Yandri. MK pun memerintahkan digelar PSU di seluruh TPS.

PSU di semua TPS juga diperintahkan digelar di Pilgub Papua, Pilbup Pesawaran, Pilbup Pasaman dan beberapa pilkada lainnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sudah buka suara soal putusan MK yang memerintahkan PSU ini.

"Secara prinsip, KPU segera menindaklanjuti Putusan MK. Paska pembacaan putusan, KPU sedang mengkaji, baik dari sisi hukum dan teknis penyelenggaraan, serta konsekuensi anggarannya," Komisioner KPU RI August Mellaz kepada wartawan, Selasa (25/2).

Ia menjelaskan koordinasi dan supervisi juga sedang dilakukan oleh KPU RI ke jajaran di provinsi dan kabupaten /kota dalam rangka tindak lanjut Putusan MK.

"Setelah kajian kebijakan dan teknis penyelenggaraan tersebut selesai, maka koordinasi lebih lanjut juga dilakukan dengan Kemendagri," ujarnya.

(gil/yoa)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Kasus | | | |