Surabaya, CNN Indonesia --
Pelaku usaha sound horeg menanggapi langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang resmi memberikan fatwa haram terhadap sumber penghasilan mereka. Para pelaku usaha meminta penerapan fatwa itu tak dipukul rata.
"Jangan dipukul rata. Yang salah, ya dibina, bukan langsung dihentikan (diharamkan) semua," kata Pemilik Blizzard Audio sekaligus sebagai Ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu, David Stefan, Senin (14/7).
David menghormati keputusan para ulama itu. Sebelum fatwa dikeluarkan, MUI juga sudah mengajak para pelaku usaha berdialog.
Namun David menyebut di lapangan, pelaku usaha hanya memenuhi permintaan masyarakat untuk menyediakan sound horeg. Dalam situasi demikian, pelaku usaha disebutnya hanya penyedia jasa, bukan penyelenggara.
"Yang kami lakukan hanya memenuhi permintaan masyarakat. Setelah kami jelaskan, akhirnya pihak MUI juga memahami posisi kami sebagai penyedia jasa, bukan penyelenggara acara," ujarnya.
David menjelaskan kegiatan sound horeg juga tak sepenuhnya negatif. Ia mengeklaim banyak hal positif yang mereka lakukan seperti santunan anak yatim, pembangunan masjid, pembelian ambulans, hingga pemberdayaan UMKM dan sektor pariwisata.
Soal kebisingan, kata David, di beberapa daerah sudah ada kesepakatan lokal yang disusun bersama warga, termasuk mitigasi bila sound horeg membuat orang sakit atau anak kecil terdampak.
"Biasanya ada MOU-nya di masyarakat," kata dia.
David tak menampik ada unsur-unsur dalam praktik sound horeg yang perlu dievaluasi. Misalnya seperti penampilan penari dengan pakaian terbuka. Karena itu, ia berharap penerapan fatwa ini dibuat selektif, bukan larangan menyeluruh.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur resmi mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan sound horeg bila digunakan secara berlebihan dan melanggar norma syariat dan mengganggu ketertiban.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, Sholihin Hasan, menjelaskan sound horeg adalah sistem audio dengan potensi volume tinggi, terutama pada frekuensi rendah atau bass. Istilah 'horeg' sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti 'bergetar'.
"Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar sehingga dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan, dan atau merusak fasilitas umum atau barang milik orang lain, memutar musik diiringi joget pria wanita dengan membuka aurat dan kemunkaran lain, baik dilokalisir pada tempat tertentu maupun dibawa berkeliling pemukiman warga hukumnya haram," kata Sholihin, Senin.
Keputusan ini diambil setelah MUI Jatim mendapatkan surat permohonan fatwa dari masyarakat perihal fenomena sound horeg di Jawa Timur. Surat atau petisi itu ditandatangani 828 orang, pada 3 Juli 2025. Mereka juga menggelar forum dengan pengusaha sound horeg hingga dokter THT.
Sholihin mengatakan, MUI Jatim merasa perlu mencermati fenomena penggunaan perangkat audio berintensitas tinggi yang semakin marak itu, karena disebut berpotensi menimbulkan mudarat.
Lebih lanjut, dalam prosesnya, MUI Jatim memandang penggunaan teknologi audio bisa bernilai positif jika digunakan secara tepat dan tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Namun, apabila berpotensi merusak dan melanggar hak orang lain, maka tidak dapat dibenarkan.
Dalam pertimbangnya, MUI Jatim menyebut sound horeg bisa mencapai 120-135 desibel (dB) atau lebih, sedangkan ambang batas yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) adalah 85 desibel (dB) untuk paparan selama 8 jam.
"Battle sound atau adu sound yang dipastikan menimbulkan mudarat, yaitu kebisingan melebihi ambang batas dan berpotensi tabdzir serta idha'atul mal atau menyia-nyiakan harta hukumnya haram secara mutlak," ucapnya.
Meski begitu, MUI tetap membolehkan penggunaan sound horeg untuk kegiatan positif seperti resepsi pernikahan, pengajian dan selawatan, asalkan dilakukan secara wajar dan bebas dari hal-hal yang diharamkan.
(frd/wis)